Entri Populer

Jumat, 10 Desember 2010

Makalah Ibnu Arabi

BAB I
PENDAHULUAN

Faham “Wahdatul Wujud” (kesatuan wujud) merupakan lanjutan dari faham “ hulul” . faham ini di bawa oleh Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabi. Hanya saja kalau dalam hulul dirubah oleh Ibnu ‘Arabi menjadi khalaq, dan “lahut” menjadi Haq, keduanya merupakan aspek dari segala sesuatu.
Menurut Ibnu ‘Arabi segala sesuatu yang maujud di alam semesta ini memiliki sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan, dan sifat ketuhanan merupakan aspek yang terpenting bagi segala sesuatu yang maujud .


BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Arabi
Ibnu Arabi adalah tokoh seorang sufi, nama lengkapnya adalah Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi , beliau lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, pada tanggal 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy. Menurut Affifi , Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena pemilkiran dan karya-karyanya yang besar terutama dalam bidang mistik. Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus --dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/ Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.
Ibunya adalah Nurul Anshariyah. Sungguh ibunda agung ini, menyusui putranya dengan air susu taqwa, menyuapinya dengan suapan mahabbah, mendidikknya lahir dan batin, hingga mencapai karakter dimana jiwa ibunda telah berpisah dari kemanusiaan menuju karakter uluhiyah. Suatu ketika, sufi besar Fathimah dari Kordoba berkata kepadanya, "Wahai Nurul Anshariyah, anakmu ini, adalah "ayahmu", didiklah dengan baik dan jangan kau batasi." Ibunda Ibnu 'Araby tidak terkejut dengan kata-kata itu, dan ia terima dengan penerimaan yang baik .
B. Perjalanan Hidup Ibnu Arabi
Beliau hidup dalam keluarga yang selalu taat dalam menjalankan perintah agama, dan orang tuanya sangat memperhatikan akan pendidikan untuk anak-anaknya. Beliau banyak mengembara demi untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al- Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan . Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun .
Selama menetap di Saville, Ibn Arabi sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126- 1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran ; sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar, menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman- pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud .
Pengembaraan Ibnu ‘Arabi semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin.13 Kemudian pergi ke Fez dan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, beliau pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.
Kurang lebih sekitar 3 tahun Ibnu ‘Arabi tinggal di Makkah dan mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al-Futuhât al-Makkiyah,15 disamping menyelesaikan karya-karya kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir.16 Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya17 ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia- rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.18
Kemudian, pada tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M). Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disinilah beliau menyelesaikan kitab monumentalnya yaitu: al-Futûhat al-Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam,19 di samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di kalangan masyarakat.20
Beliau adalah tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia,21 Ibn Arabi menciptakan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah Futûhât al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam, yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.
C. Dasar-Dasar Pemikiran Ibnu Arabi

Sebagai seorang Tokoh Sufi, beliau mempunyai dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkan, antara lain:
1) Menurut Ibnu Arabi, Alam semesta ini tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Nabi Adam. Terjadinya limpahan pertama dalam bentuk Tajalli. Maksudnya Tajalli adalah proses kejadian dan segala bentuk dan ketamaam ke Tuhanan. Esensi-esensi yang menerima tabiat dalam kestuan yang tidak bisa dipisahkan antara Tuhan dan Makhluk karena saling berhubungan, seperti cermin menerima gambaran manusia tanpa terpisah antara gambar dan cermin.
2) Bagi Ibnu Arabi manusia bagi Tuhan diibaratkan mata dengan mata, dimana mata dapat dilihat. Penglihatan ini diibaratkan pandangan hingga dinamakan manusia. Dengan adanya itu, maka Tuhan memandang manusia dengan kasih sayang-Nya. Manusia itulah baru, yang melimpah, yang berbekalan, yang abadi dan juga merupakan kalimat pemisah dan penghimpun. Jika tidak dhohir Tuhan maka tidak ada benda-benda makhluk dan niscaya tidak ada sifat-sifat-Nya. Dan manakala sudah kenal terhadap-Nya, kitapun mengenal Dia dan melalui Tajalli-Nya kita mengenal alam smesta ini.
3) Wujud semesta bagi Ibnu Arabi adalah satu jua, dan apabila kita melihat dari jumlah tak terhitung, maka kita menggunakan acuan-acuan indera dan akal semata-mata. Dalam bentuk bermacam-macam akal dan indera dapat menangkap kesemestaan dan cara ini dipakai oleh kalangan Intelektual Filosofis. Dan bagi kalangan Sufi yang menangkap segala wujud dengan segala kerinduan Sufi akan memandang kesemestaan ini dalam keberadaannya yang tunggal, Al-Haq dan Al-Khaliq adalah dsatu belaka.
4) Menurut Ibnu Arabi, asal dari segala wujud dan sebab tiap yang ada adalah limpahan Tuhan yang terus menerus tiada henti, yang disebut juga Al-Khalqun Jadiid**. Sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Maka apakah kamu letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru”. (Q.S.Al-Qaaf ayat 15)
5) Dalam konsep al-insan al-Kamil yaitu merenungkan ihwal visio smaragdina (yang dipenuhi warna emas dan hijau), karena kesemuanya ini memungkinkan kita untuk mendalaminya. Dia tidak mau membuatkan suatu tafsir, yakni suatu eksegesis literal, bahkan juga bukan suatu ta’wil atau suatu pemahaman yang merupakan suatu hermeneutika eksistensi yang sejati, karena penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas yang ini atau itu. Tuhan adalah bentuk semata dan tidak lebih ada bentuk tetapan (rambut ini, baju ini, sandal ini) dan ada makna (ma’na) tersembunyi yang tidak semestinya di cari di dalam konteks kebenaran abstrak yang umum atau di dalam berbagai kebenaran milik manusia yang diagungkan dan diterapkan bagi Tuhan, melainkan mesti di cari di dalam hubungan yang tak mungkin tergantikan antara bentuk yang terlihat dan wujud yang dituju oleh Tuhan yang menunjukkan diri-Nya dalam bentuk tersebut. Dan dia juga beresensi selamanya tak bisa diraih oleh visi adalah wujud Ilahi dalam kemutlakan-Nya, yang lain sama sekali, Dia hanya bisa terlibat dalam penetapan bersama yang menjalin Tuhan tetapan dengan hamba-Nya dan mengindividualisasikan relasi mereka. Dan dia juga berkata “Aku tidak menampakkan diri-Ku dalam bentuk sempurna yang manapun kecuali dalam wujudmu yang tersembunyi”, dan kenalilah kemuliaan tinggi yang telah aku karuniakan kepadamu. Akulah yang agung, yang tertinggi, yang tak terbatas apapun.

**perjalanan hidup tokoh sufi terkemuka, 246

D. Wahdatul Wujud

Pemikiran bahwa alam semesta ini merupakan aktualisasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibnu ‘Arabi seluruh realitas yang ada di alam semesta ini meskipun tampak beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan merupakan satu-satunya realitas yang sesungguhnya. Apapun selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-Halaq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan tuhan? Atau lam ini tidak memiliki wujud samasekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.
Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya yang paradoksal, jawaban Ibnu ‘Arabi bersifat ambigius, bahwa alam adalah Tuhan (al Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibnu ‘Arabi sendiri alam adalah “Dia dan bukan Dia” (Huwa la Huwa)37. Menurut Ibnu ‘Arabi alam adalah penampakan (tajjli) Tuhan, dengan demikian segala sesuatu adalah entifikasi-Nya. Tuhan dan semesta keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan kontradiksi-kontradiksi ontologis, kontrdiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal, tetapi juga bersifat vertikal. Sebagaimana dalam uraian al-Qur’an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathin), sekaligus Yang Tampak (al-Dzahir), Yang Esa (al-Wahid), Yang Banyak (al-Katsir), Yang Terdahulu (al-Qadim), sekaligus Yang Baru (al-Hadits), Yang Ada (al-Wujud), sekaligus Yang Tiada (al-‘Adam).38
Prinsip al-jam’u bainal ‘adad (kesatuan diantara pertentangan-pertentangan) yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Arabi meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Meskipun memiliki dua sifat yang berbeda antara sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen, eksistensi sekaligus non eksistensi39, tetapi realitasnya hanyalah satu.
Ibnu ‘Arabi dalam menjelaskan hubungan ontologis antara Tuhan dan semesta beliau menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini digunakan (1) untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya, Dia ingin memperlihatkan diri-Nya lewat alam. (2) untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. 40 Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, samasekali bukan selain-Nya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran diatas sesuai dengan penyatuan dua paradigma tsybih dan tanzih yang digunakan Ibnu ‘Arabi. Dari segi Tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifat-sifatNya. Dari segi Tanzih, Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu, sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan “Huwa la Huwa” (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (Ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan dengan Dzat-Nya, Tuhan terlalu tingggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.

D. Antara Mistik dan Filsafat.
Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,22 pertama, filsafat meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya, sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya secara teoritis. Kedua, dalam mencapai tujuannya, filsafat menggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistik menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus menerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggap kurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki. Ketiga, tujuan dalam filsafat adalah memahami alam semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh. Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya-- eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’. Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat- sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.
Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi, kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.23 Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata, yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio, meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-- mampu menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki. Atau menurut istilah Henry Bersogn,24 baru tahap ‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum ‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.
Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence) dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.25
Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu. Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.26 (1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajin dalam melakukan kebajikan; (2) Meninggalkan seluruh -- pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspek fenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yang menjadi dasar fenomenanya; (3) Menjauhkan diri dari atribut- atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata; (4) Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak ‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistis kehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang; (5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut. Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘Sebab Pertama’ dari realitas semesta.27
Jika seseorang telah mencapai derajat Ittihad (kesatuan diri dengan Tuhan), maka ia akan menerima ilmu langsung secara vertikal, dalam bentuk ilham. Pengetehuannya datang langsung lewt pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibnu Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya, bukan rujukan yang sesungguhnya, yang da;lam hal ini Ibnu Arabi tidak pernah terpaku pada salahsatu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr*, pemaparan Ibnu Arabi banyak mengikuti Al-Hallaj (859-913 M) dan filsafat Ibnu Sina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Epidocles yang dikembangkan oleh Ibnu Massarah (w 923 M), Neo-Pithagoras yang dikembangkan oleh kelompok Ikhwan as-Shafa maupun Neo-Platonisme, Sedemikian, sehingga menurut Affifi*, pemikiran metafisika Ibnu Arabi tampak tidak beraturan, tidak konsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafat sebelumnya.

E. Analisia

Penjelasan dari falsafah Ibnu ’Arabi mengenai Wahdatul Wujud sebagai berikut: makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang maujud selain Tuhan. Yang mempunyai wujud selain Tuhan tidak akan maujud sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah yang sesungguhnya mempunyai wujud hakiki. Yang dijadikan (makhluk) hanya mempumyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya yaitu Tuhan. Dengan demikian yang mempunyai wujud yang sebenarnya hanyalah Tuhan (bukan makhluk), Karena, wujud makhluk bergantung pada wujud Tuhan. Yang dijadikan sebenarnya tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian hanya ada satu wujud yaitu, yaitu wujud Tuhan.


BAB IV
PENUTUP

Pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby dinilai oleh beberapa pihak, teruatama kaum fuqaha' dan ahli hadist sangat kontroversial. Sebab, teorinya tentang Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Hal ini disebabkan seluruh karya-karya Ibnu 'Araby, meggunakan bahasa simbolik, sehingga kalangan awam dan kaum tekstualis sangat kebingungan. Bahkan tidak sedikit yang mengganggap murtad dan kufur pada Ibnu 'Araby. Tak kurang, misalnya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah, dan pengikutnya. Tetapi pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby. "Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.
Ketersesatan memahami Ibnu 'Araby juga berkembang di Jawa, ketika secara aliran kebatinan Jawa singkretik dengan Tasawuf Ibnu 'Araby. Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu 'Araby. Bahkan di jawa sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan.